PT. RIFAN FINANCINDO BERJANGKA - Laju nilai
tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Kamis (2/6) pagi
hingga siang, melemah sebesar 32 poin menjadi Rp 13.693 dibandingkan
posisi sebelumnya sebesar Rp 13.661 per dolar AS. Sentimen dari lembaga
pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) yang belum menaikkan
peringkat Indonesia ke level layak investasi atau investment grade,
menjadi salah satu penahan laju mata uang rupiah.
Saat ini,
bahwa S&P mempertahankan peringkat Indonesia pada level BB+ (double B
plus) dengan outlook positif pada 1 Juni 2016. Dalam siaran persnya,
S&P menyebutkan peningkatan peringkat dimungkinkan apabila momentum
perbaikan tata kelola kelembagaan, khususnya kerangka kebijakan fiskal,
dapat menghasilkan pengeluaran pemerintah yang berkualitas, penurunan
tren defisit fiskal, moderasi utang pemerintah dan terjaganya kewajiban
kontijensi fiskal.
Meski
S&P belum menaikan peringkat Indonesia, namun level peringkat
Indonesia masih bagus, apalagi pemerintah juga konsisten melakukan
berbagai upaya reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Di tengah kondisi ekonomi nasional yang cukup kondusif, ruang
penguatan mata uang rupiah terhadap dolar AS masih terbuka, pelaku pasar
akan dapat memanfaatkan momentum dari optimisme dari pemerintah.
Potensi
rupiah dapat kembali bergerak menguat juga seiring dengan komitmen
pemerintah yang terus berupaya menjaga harga bahan pokok menjelang bulan
puasa yang jatuh pada bulan Juni dan Lebaran pada bulan Juli 2016.
Inflasi yang terkendali akan membuat laju rupiah menjadi stabil, bahkan
cenderung menguat.
Selain itu,
tekanan inflasi terus mereda. Mei lalu, seperti diumumkan Badan Pusat
Statistik (BPS), inflasi bulanan mencapai 0,24%, dengan laju inflasi
tahun kalender dan inflasi tahunan (year on year/yoy)
masing-masing sebesar 0,40% dan 3,33%. Seperti biasa, kelompok bahan
makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, serta
kelompok sandang menjadi penyumbang inflasi terbesar.
Pemerintah
mengklaim telah berhasil mengendalikan harga barang guna mengamankan
target inflasi RAPBN-P 2016 sebesar 4%. Apalagi inflasi Mei 2016 lebih
rendah ketimbang Mei 2015 yang mencapai 0,5%, bahkan terendah sejak
Desember 2009. Namun, sulit dibantah pula jika inflasi rendah memiliki
korelasi langsung dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya
daya beli masyarakat saat ini. Perhatian masyarakat akan tertuju ke
siklus inflasi Ramadan dan Lebaran yang tinggal hitungan hari. Di negeri
ini, sudah menjadi ‘hukum alam’ jika inflasi selalu melambung selama
Bulan Puasa dan Lebaran. Tak peduli daya beli masyarakat sedang melemah
atau ekonomi sedang melambat.
Dalam
beberapa pekan terakhir, harga bahan kebutuhan pokok, terutama pangan
dan sandang, merambat naik. Hingga Juli mendatang, tekanan inflasi
diperkirakan tetap tinggi karena pada periode itu terjadi pergantian
tahun ajaran baru sekolah dan musim liburan.
Sekitar
bulan Juni-Juli bisa menjadi puncak inflasi tahun ini. Maka kita tak
bosan-bosannya mengingatkan pemerintah bahwa inflasi harus terus dikawal
agar senantiasa berada pada level yang wajar, tidak kelewat rendah,
tidak pula kelewat tinggi. Pemerintah juga harus berupaya agar inflasi
terjadi karena penawaran dan permintaan, bukan akibat spekulasi.
Di bidang moneter, kita menunggu langkah-langkah Bank Indonesia (BI) dalam menyeimbangkan dan mengeremdemand pull inflation (inflasi
karena tarikan permintaan akibat membanjirnya likuiditas di pasar).
Jika pemerintah dan bank sentral menjalankan kedua peran itu secara
harmoni, inflasi bukan saja bakal terjaga pada level yang wajar dan
sehat, tapi juga lebih mencerminkan mekanisme pasar.
sumber : financeroll.co.id
Tidak ada komentar :
Posting Komentar