JAKARTA, KOMPAS.com —
Rupiah "terkapar" menghadapi keperkasaan dollar Amerika Serikat (AS).
Di pasar spot, Selasa (24/6/2014), rupiah melemah 0,03 persen dari hari
sebelumnya ke Rp 11.989. Versi kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah
juga terdepresiasi 0,24 persen dan tutup di Rp 12.000.
Seorang tresuri di Singapura mengatakan, permintaan dollar AS dari dalam negeri dan luar negeri meningkat. Itu pula yang membuat rupiah kian "loyo". "Setengah tahun terakhir banyak dollar masuk karena asing menyerbu sertifikat BI, obligasi negara, dan obligasi swasta," kata tresuri yang enggan disebutkan namanya itu kepada Kontan.
Surat berharga itu segera jatuh tempo. Di sisi lain, suplai dollar AS di luar negeri dalam non-delivery forward berkurang. "Asing ingin beli kembali dollar karena surat berharga mereka jatuh tempo. Saya perkirakan, di Juli nanti, ada permintaan antara 1,5 miliar dollar AS hingga 2 miliar dollar AS. Kini mereka mulai mencicil mencari dollar," katanya.
Seorang tresuri di Singapura mengatakan, permintaan dollar AS dari dalam negeri dan luar negeri meningkat. Itu pula yang membuat rupiah kian "loyo". "Setengah tahun terakhir banyak dollar masuk karena asing menyerbu sertifikat BI, obligasi negara, dan obligasi swasta," kata tresuri yang enggan disebutkan namanya itu kepada Kontan.
Surat berharga itu segera jatuh tempo. Di sisi lain, suplai dollar AS di luar negeri dalam non-delivery forward berkurang. "Asing ingin beli kembali dollar karena surat berharga mereka jatuh tempo. Saya perkirakan, di Juli nanti, ada permintaan antara 1,5 miliar dollar AS hingga 2 miliar dollar AS. Kini mereka mulai mencicil mencari dollar," katanya.
Menurut Reny Eka Putri, analis pasar uang Bank Mandiri, melemahnya rupiah lebih karena faktor eksternal seiring pertumbuhan ekonomi AS. Maklum, Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) juga melanjutkan pemangkasan stimulus (tapering).
Data ekonomi AS yang dirilis pada Senin (23/6/2014) memang menunjukkan pemulihan ekonomi sehingga menguatkan dollar AS. Misalnya, industri manufaktur mulai ekspansi, sementara penjualan rumah bekas juga naik menjadi 4,89 juta.
Dari dalam negeri, kebutuhan dollar AS dari kalangan korporasi untuk membayar gaji dan impor juga meningkat. Sentimen negatif bertambah seiring pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini oleh Bank Indonesia menjadi 5,1 persen-5,5 persen. Sentimen pemilihan presiden (pilpres) turut menggerus rupiah.
Albertus Christian, Senior Researcher and Analyst Monex Investindo Futures, mengatakan, hasil polling menunjukkan persaingan ketat sehingga menimbulkan ketidakpastian. "Juga kekhawatiran inflasi tinggi, dampak Ramadhan dan Lebaran," ujarnya.
Mika Martumpal, Research and Strategy Head Treasury and Capital Market Bank CIMB Niaga, menilai, sentimen negatif penyelenggaraan pilpres berpengaruh sesaat saja terhadap rupiah. Selanjutnya, rupiah kembali ke fundamental utamanya, yakni defisit APBN dan defisit neraca berjalan.
"Rupiah bisa menguat ke Rp 11.700, tapi bisa melemah ke Rp 12.300," kata Mika. Proyeksi Reny, rupiah membaik pada akhir tahun menjadi Rp 11.600. Alasannya, defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III dan IV menyempit.
Selain itu, ada harapan perbaikan ekspor Indonesia karena ekonomi AS dan beberapa negara Eropa membaik. Tresuri Singapura itu sepakat kurs di Rp 11.600-Rp 11.800 pada akhir tahun.
Menurut Christian, capital inflow akan "deras" jika presiden terpilih sesuai ekspektasi pasar. Rupiah pun bisa ke Rp 11.500. Namun, masih ada potensi tekanan ke Rp 12.100-Rp 12.150, menunggu susunan kabinet. Tresuri Singapura tadi mewanti-wanti jangan sampai level Rp 12.000 tembus. "Jika tembus, rupiah langsung ke level tertinggi tahun ini," ujarnya. Level terlemah rupiah terhadap dollar AS terjadi pada 3 Februari lalu di posisi Rp 12.240. (Dina Farisah, Ahmad Febrian)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar