KOMPAS.com -
Niat untuk berwirausaha bisa muncul kapan saja. Tak peduli usia, asal
jeli melihat peluang dan kesempatan, tidak ada salahnya untuk mulai
menginjakkan kaki ke lahan bisnis.
Jiwa untuk berbisnis itu telah dimiliki Fery Eka Laksmana sejak belia. Meskipun tak mengalir darah bisnis dalam keluarganya, Fery mengaku, sejak kecil sudah suka berjualan. Bahkan, ketika menginjak remaja, pria kelahiran Karawang Jawa Barat, 5 Februari 1981, ini semakin jeli membaca peluang bisnis yang terbuka.
Dia mencontohkan, saat sekolahnya mengharuskan penggantian sepatu setahun sekali, tanpa malu, dia mengumpulkan sepatu milik teman-temannya untuk dijual lagi. “Saya jual ke daerah Kosambi,” kenang dia.
Tak heran, ketika duduk di tingkat empat pendidikan tingginya, atau tepatnya tahun 2002, Fery berani membuka usaha peternakan sapi. Dia menggandeng investor dan menggelontorkan dana Rp 26 juta sebagai modal. “Saya terapkan sistem bagi hasil keuntungan dengan investor,” terang dia.
Jiwa untuk berbisnis itu telah dimiliki Fery Eka Laksmana sejak belia. Meskipun tak mengalir darah bisnis dalam keluarganya, Fery mengaku, sejak kecil sudah suka berjualan. Bahkan, ketika menginjak remaja, pria kelahiran Karawang Jawa Barat, 5 Februari 1981, ini semakin jeli membaca peluang bisnis yang terbuka.
Dia mencontohkan, saat sekolahnya mengharuskan penggantian sepatu setahun sekali, tanpa malu, dia mengumpulkan sepatu milik teman-temannya untuk dijual lagi. “Saya jual ke daerah Kosambi,” kenang dia.
Tak heran, ketika duduk di tingkat empat pendidikan tingginya, atau tepatnya tahun 2002, Fery berani membuka usaha peternakan sapi. Dia menggandeng investor dan menggelontorkan dana Rp 26 juta sebagai modal. “Saya terapkan sistem bagi hasil keuntungan dengan investor,” terang dia.
Kejelian Fery melihat peluang bisnis pun makin terasah. Peternakan sapi yang dekat dengan persawahan dan perkebunan, yakni di Cimalaya, Karawang, memberi ide pada Fery untuk membuka toko pertanian. “Saya melihat lahan pertanian dan perkebunan sangat luas, tapi hanya ada satu toko pertanian,” kata alumnus Fakultas Hukum, Universitas Parahyangan, Bandung ini.
Fery pun segera membuka toko yang menjual alat pertanian dan pupuk. Dia seperti menemukan peruntungannya di bisnis baru ini. Hanya dalam lima bulan pertama, ayah empat anak ini bisa mengejar omzet Rp 600 juta saban bulan. “Bahkan, mengalahkan usaha peternakan sapi yang telah dibangun selama tiga tahun,” seru dia.
Fery bilang, omzet cepat melejit lantaran lokasi tokonya berada di daerah yang tepat. Tak hanya di Karawang, dia pun berhasil mengembangkan penjualan hingga ke Majalengka, Sumedang, Tegal, dan Brebes, pada tahun pertama bisnisnya.
Fery yang waktu itu masih berusia 25 tahun pun menikmati hasil gemilang dari bisnisnya. Dia berhasil membeli rumah, mobil, dan berbagai fasilitas lain dari hasil jerih payahnya sendiri.
Utang menumpuk
Sayang, kesuksesan itu hanya berlangsung singkat. Pada tahun 2007, dia mendapat pengalaman yang tak akan terlupakan di sepanjang hidupnya.
Saat itu, Fery tengah mengirim pesanan lima truk tronton pupuk ke daerah Brebes, Jawa Tengah. Masing-masing tronton membawa sekitar 32 ton pupuk. Dalam perjalanan, rombongan Fery ini ditahan dengan tuduhan membawa pupuk gelap.
Dia dituding tidak memiliki surat-surat lengkap dan menjadi penyelundup pupuk ke daerah Brebes. Nama Fery pun sempat menghiasi headline beberapa media lokal. “Saya bingung kenapa ditahan karena saya tidak merasa melakukan kesalahan,” kata Fery.
Setelah urus sana-sini, akhirnya Fery diperbolehkan keluar dari kantor polisi dan pulang dengan truk-truk kosong. “Pupuk disita sebagai barang bukti. Nilai kerugian saya berkisar Rp 600 juta hingga Rp 700 juta,” kisah dia.
Karena kejadian ini, bisnis Fery bangkrut. Dia lantas menyadari, pengelolaan usaha yang berantakan juga menjadi salah satu penyebab kegagalannya. “Sikap saya ternyata memang belum menjadi pengusaha yang baik, keuangan dan manajemen karyawan juga masih berantakan,” ujar dia. Kebangkrutan itu juga meninggalkan utang hingga Rp 1,2 miliar.
Tak tahan dikejar debt collector, Fery mulai menjual aset-aset yang ia miliki. “Hasilnya bisa menutup setengah dari utang saya,” kenang dia.
Meski sempat stres, Fery bertekad untuk bangkit lagi. Dia keliling Bandung dan berbagai daerah di Jawa Barat untuk mencari peluang bisnis baru. Hingga akhirnya, Fery pun melihat kuliner bebek sedang naik daun di Bandung. “Dari situlah, terlintas ide untuk menjadi pemasok bebek,” tutur pria yang kini berusia 31 tahun.
Dia pun segera berburu bebek ke daerah Cilamaya dan membuka los di Pasar Kosambi untuk berjualan bebek. Selain menjual, Fery juga memotong bebek sendiri untuk pembelinya. “Saat itu, dalam pemikiran saya, apa pun akan saya lakukan,” ujar dia.
Dari hari ke hari penjualan bebek terus meningkat karena Fery juga memasok beberapa restoran. Pada tahun kedua, Fery bisa menjual 300 bebek per hari. Dia pun lantas terpikir untuk membuka usaha peternakan sendiri.
Pada Februari 2010, Fery mulai beternak bebek dengan menyewa 150 m2 lahan di Cilamaya. “Lahan itu mampu menampung 100 ekor bebek,” kata dia.
Tak berhenti di peternakan, muncul pula ide untuk membuka resto bebek. “Saya ingin punya nilai tambah, jangan hanya menjadi pemasok saja,” katanya. Mulailah dia melakukan riset soal bumbu berbagai olahan bebek. September 2010, Fery membuka resto bebek pertamanya, Bebek Udig di dekat Universitas Islam Bandung.
Usaha peternakan Fery terus berkembang. Kini, peternakannya menjual 2.500 ekor bebek per minggu. Dia juga mengembangkan lahan peternakan milik sendiri, hingga 5.000 m2. Selain itu, resto Bebek Udig pun pindah ke kawasan Dago di atas lahan seluas 600 m2. (Melati Amaya Dori, J. Ani Kristanti)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar