PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA BANDUNG - Dalam satu abad terakhir, belum ada krisis kesehatan
yang dampaknya terhadap perekonomian global seperti pandemi Covid-19
saat ini.
Transmisi virus yang sangat cepat dan meluas membuat pemerintah
berbagai negara mengambil tindakan ekstrem dengan mengunci
perekonomiannya (lockdown).
Lockdown membuat hantu resesi yang yang dikhawatirkan sejak
2 tahun belakangan ketika AS-China konfrontasi dagang menjadi sebuah
kenyataan pahit yang harus diterima banyak orang.
Di Indonesia, sinyal resesi juga menguat setelah Menteri Keuangan Sri
Mulyani memberi pernyataan soal minusnya pertumbuhan ekonomi di Q3,
yakni -2,9% hingga -1,0%.
Tahun 2020 memang berlalu dengan sangat cepat.
Gara-gara Covid-19, banyak sekali yang rencana dan impian orang untuk
bepergian ke berbagai tempat, membangun rumah gagal karena
pendapatannya turun atau investasinya tak menghasilkan cuan (malahan
rugi).
Pasar keuangan bergerak dengan gejolak yang tinggi. Volatilitas yang
tinggi ini mencerminkan risiko yang dihadapi oleh seseorang jika ingin
berinvestasi di aset-aset finansial. Namun investasi di masa krisis
sebenarnya memberikan peluang return yang besar.
Banyak orang yang menjadi tajir justru ketika krisis terjadi dia berinvestasi.
Bahkan sampai ada ungkapan yang bunyinya begini 'the time to buy is when there's blood in the streets'. Kata-kata yang jadi legenda tersebut diungkapkan oleh salah satu anggota keluarga terkaya di muka bumi, Baron Rothschild.
Namun pertanyaannya adalah barang atau instrumen investasi apa yang harus dibeli saat ini?
Adakah 'barang' yang memang sedang diobral murah tetapi bisa memberikan imbal hasil yang fenomenal?
Jika Anda masuk ke pasar saham saat hampir seluruh orang menarik diri
dari pasar keuangan di minggu terakhir Maret lalu, mungkin saat ini
Anda sedang duduk santai sambil menyeruput kopi dengan tersenyum karena
ada setumpuk uang yang ada di rekening Anda.
Hanya saja harga-harga saham terutama di negara-negara maju seperti AS pada sektor-sektor tertentu seperti teknologi sudah rebound tinggi dan cenderung kemahalan.
Beberapa aset ekuitas di negara berkembang seperti di Indonesia mungkin masih ada yang tergolong 'murah'.
Mengingat kelas asetnya masih sama yaitu saham, pergerakan bursa global juga akan berdampak pada pasar modal dalam negeri.
Ketika Wall Street ambruk, tak menutup kemungkinan bursa saham Tanah
Air juga akan mengikuti. Bisa saja Anda memanfaatkan momentum tersebut
untuk membeli, tentu harus siap amunisi.
Jika Anda adalah tipe orang yang cenderung menghindari risiko (risk averse) maka volatilitas saham yang tinggi bisa membuat jantung Anda berdegup kencang bahkan rasanya seperti mau copot.
Masih ada aset lain yang cenderung lebih aman ketimbang saham.
Obligasi pemerintah. Instrumen pendapatan tetap pemerintah ini bisa
memberikan imbal hasil yang menarik meski tak bisa sebesar saham karena
kuponnya sudah ditentukan.
Apalagi di era pandemi seperti sekarang ini kebijakan bank sentral
cenderung ultra akomodatif. Otoritas moneter di negara maju maupun
berkembang banyak yang mengambil langkah 'cetak uang' melalui program
yang disebut quantitative easing.
Secara sederhananya, bank sentral bakal membeli berbagai instrumen dalam bentuk bond terutama obligasi pemerintah untuk menurunkan cost of borrowing. Artinya imbal hasil atau yield obligasi pun rendah.
Di sisi lain, karena banyak membeli obligasi pemerintah aset bank
sentral di sisi neraca menjadi mengembang. Cetak uang juga membuat
pasokan fulus menjadi membludak. Otomatis valuasi atau nilai uang akan
turun dan menyebabkan inflasi yang tinggi.
Salah satu aset yang diyakini berperan sebagai proteksi dari inflasi adalah emas.
Kinerja logam kuning sebagai aset safe haven ini begitu ciamik dalam dua tahun terakhir, ketika ada perlambatan ekonomi global.
Tahun ini saja, harga emas sudah naik 26%. Harga logam mulia bahkan
sempat menyentuh level tertingginya dalam sejarah Agustus lalu di US$
2.036/troy ons. Namun setelah mencapai puncak harga emas langsung
melorot. Kini emas diperdagangkan di rentang harga sekitar US$
1.900/troy ons.
Lantas apakah ini saat yang tepat untuk membeli emas?
Pada dasarnya, stance dovish (kebijakan tak agresif) dari
bank sentral di seluruh muka bumi memang membuat ekspektasi
inflasi menjadi tinggi. Ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir,
eskalasi perang dagang AS-China yang tak terlihat di mana ujungnya
membuat fundamental emas semakin kokoh.
Banyak para profesional analis dan manajer investasi memberikan proyeksi yang sangat bullish pada emas.
Bank of America (BoA) memperkirakan harga emas bakal menyentuh US$
3.000/troy ons. Jika membeli di harga sekarang, maka potensi return-nya
berada di angka 58%.
Ada juga yang meramal harga emas bisa ke US$ 4.000/troy ons dalam 2 sampai 3 tahun mendatang.
Lebih bombastisnya lagi ada ramalan yang menyebut harga emas ke US$ 10.000/troy ons. Sangat menggiurkan bukan?
Tunggu dulu! Untuk mencapai level atau harga tersebut, emas butuh waktu. Apalagi tantangan emas saat ini juga banyak.
Harga emas sedang konsolidasi karena sudah menyentuh level paling tinggi sepanjang masa. Emas sedang mencari arah barunya.
Sentimen penggerak emas saat ini adalah pergerakan dolar AS, berita
soal stimulus, perkembangan vaksin hingga kebijakan moneter bank sentral
global.
Dolar yang menguat, stimulus yang melambat, vaksin yang semakin dekat
dengan pasar hingga bank sentral yang kurang lagi dovish seperti
sebelumnya akan membuat harga emas terpelanting.
Hal ini harus dipahami benar oleh Anda yang ingin berinvestasi di
emas. Aman bukan berarti tanpa risiko. Fakta yang lebih mengejutkan lagi
adalah pergerakan harga emas sekarang juga mulai menunjukkan korelasi
yang positif dengan pergerakan harga aset-aset berisiko seperti ekuitas.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa ada risiko tambahan yaitu tidak
menutup kemungkinan kalau pasar saham ambruk, emas juga akan ikut
terseret arus.
Untuk itu dalam berinvestasi di emas pun Anda membutuhkan strategi yang matang.
Lagipula emas juga berbeda dengan saham atau obligasi karena tak memberikan imbal hasil (non yielding & non-interest bearing).
Sebagai investor, Anda harus menentukan tujuan berinvestasi serta profil risiko Anda terlebih dahulu.
Sebagai aset tak berimbal hasil, Anda hanya bisa mengharapkan return dari kenaikan harga saja (capital gain).
Fungsi emas sebagai aset untuk lindung nilai (hedging) dari devaluasi nilai tukar akibat inflasi serta kinerja buruk investasi di aset-aset lain.
Namun bagaimana jika emas dan saham masih terus menunjukkan pola yang
sama dan inflasi yang digadang-gadang tidak datang lantaran aggregat demand anjlok lebih dalam dari aggregat supply?
Ini adalah risiko investasi yang perlu Anda hitung.
Bagaimanapun juga emas tetaplah bagus untuk diversifikasi portofolio.
Memang belakangan ini pergerakan emas cenderung searah dengan pasar
saham. Ini hanya untuk kasus-kasus tertentu dan spesial saja.
Selain itu, emas juga harus dipandang sebagai nilai tukar seperti
halnya mata uang yang ada saat ini seperti dolar AS, euro, yen maupun
yang ada di dompet kita sebagai warga +62 yaitu rupiah.
Artinya membeli emas tetap saja tidak ada salahnya. Masalah untuk dapat cuan atau tidak itu urusan strategi Anda setelah benar-benar matang merefleksikan diri apa tujuan investasi dan profil risiko Anda.
Anda juga harus ingat, tak ada filosofi investasi yang benar-benar baru untuk menggapai cuan.
Beli di harga rendah dan jual di harga tinggi. Itu hukum yang berlaku
dalam kamus investasi siapapun dan untuk aset manapun. Jangan sampai
kebalik ya kalau kata investor kawakan Tanah Air, Lo Keng Hong.
Membeli emas agar cuan haruslah menemukan momentum yang tepat.
Membeli emas pun tak harus dengan memborongnya dalam satu waktu.
Pasar yang penuh dengan ketidakpastian memang membutuhkan strategi yang
rasional tetapi juga seni untuk memprediksi kejadian di masa depan.
Oleh karena itu, jika harga emas drop karena aksi jual pasar
saja akibat sentimen sementara dan tak ada perubahan dari sisi
fundamentalnya, Anda bisa mulai mencicil untuk membeli emas.
Saat harga kembali anjlok, bisa dicicil lagi, asal dengan catatan fundamental emas masih kuat.
Sebenarnya untuk jangka waktu yang sangat panjang emas memiliki
potential upside juga tentunya. Sehingga jika Anda adalah tipe investor
yang jangka waktu investasinya sangat panjang mencicil beli emas sedikit
demi sedikit bisa jadi strategi yang cocok untuk bisa mengakumulasi
volume yang besar.
Di dalam negeri, akses Anda untuk membeli emas juga banyak. Bisa
melalui butik-butik emas milik PT Aneka Tambang maupun Pegadaian, bisa
juga Anda membeli atau mencicilnya di platform-platform e-commerce yang
ada.
Ingat ya, kuncinya terletak di refleksi tujuan investasi dan profil
risiko, sediakan amunisi yang cukup, beli di harga rendah yang rasional
dan simpanlah emas Anda di tempat yang aman. Terakhir, bersabarlah!
Oiya jangan lupa juga saran Warren Buffet ya! Meski ia tak tertarik
berinvestasi di emas karena tak memberikan imbal hasil seperti dividen
di saham, sebaik-baiknya investasi adalah yang jangka waktunya sangat
panjang agar cuan-nya makin kerasa - PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA
Sumber : cnbcindonesia.com