RIFAN FINANCINDO BERJANGKA- Sejak kemarin, nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat (AS) bergerak dalam tren melemah. Bahkan dolar AS
sempat hampir menyentuh Rp 13.000.
Merespons kondisi tersebut, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar konferensi pers untuk memberikan penjelasan. Hadir Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, dan sejumlah pejabat lainnya.
Merespons kondisi tersebut, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar konferensi pers untuk memberikan penjelasan. Hadir Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, dan sejumlah pejabat lainnya.
Sofyan mengatakan, apa yang terjadi dengan rupiah saat ini adalah dampak eksternal. Penguatan dolar AS yang begitu tajam membuat mata uang negara-negara lain menjadi 'korban', tidak terkecuali rupiah.
"Sampai hari ini, depresiasi rupiah sekitar 4%. Kalau yen Jepang depresiasinya 15%, ringgit Malaysia 6%. Bahkan Rusia mengalami depresiasi yang luar biasa. Ini di luar kontrol kita," papar Sofyan dalam konferensi pers yang dilakukan di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Selasa (16/12/2014).
Pemerintah, lanjut Sofyan, hanya bisa melakukan hal yang masih berada di bawah kewenangannya.
"Pemerintah menjaga kondisi internal tetap bagus. Kabinet selalu kerja keras, investasi akan mulai ada PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), dan APBN juga sudah lebih baik," katanya.
Sementara Bambang menambahkan, penguatan dolar AS yang begitu kencang tidak lepas dari ekonomi Negeri Paman Sam yang terus membaik. Pemulihan ekonomi ini diperkirakan membuat bank sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
"The Fed pasti menaikkan suku bunga. Itu jadi sentimen yang mempengaruhi nilai tukar rupiah," tuturnya.
Investor, lanjut Bambang, juga memperhatikan kondisi di dalam negeri yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit). Pada kuartal III-2014, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar US$ 6,8 miliar atau 3,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Turun dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 9,1 miliar atau 4,3% PDB.
"Current account deficit sudah menunjukkan perbaikan, tetapi besarannya dianggap untuk emerging market harusnya lebih baik lagi. Artinya kondisi fundamental domestik harus tetap diperbaiki," jelas Bambang.
Di luar fundamental, tambah Bambang, ada pula faktor musiman yang menyebabkan rupiah melemah yaitu tingginya permintaan dolar AS. Mendekati akhir tahun, banyak perusahaan 'berburu' dolar AS untuk membayar utang, dividen, sampai mencari instrumen investasi baru sebagai persiapan tahun depan.
Menurut Bambang, pemerintah sudah mempersiapkan instrumen menghadapi kondisi terburuk. Pemerintah punya program Bond Stabilization Framework (BSF) jika pelemahan rupiah sampai berdampak signifikan kepada obligasi negara. Pemerintah juga menyiapkan dana untuk pembelian kembali (buyback) obligasi.
"Kita lakukan terus pemantauan menit ke menit, dan kita sudah siapkan buyback kalau pasar mengalami tekanan. Kemudian untuk subsidi energi, pada 2015 pemerintah melakukan fix subsidy demi ketahanan fiskal," terangnya.
Investor, lanjut Bambang, juga memperhatikan kondisi di dalam negeri yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit). Pada kuartal III-2014, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar US$ 6,8 miliar atau 3,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Turun dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 9,1 miliar atau 4,3% PDB.
"Current account deficit sudah menunjukkan perbaikan, tetapi besarannya dianggap untuk emerging market harusnya lebih baik lagi. Artinya kondisi fundamental domestik harus tetap diperbaiki," jelas Bambang.
Di luar fundamental, tambah Bambang, ada pula faktor musiman yang menyebabkan rupiah melemah yaitu tingginya permintaan dolar AS. Mendekati akhir tahun, banyak perusahaan 'berburu' dolar AS untuk membayar utang, dividen, sampai mencari instrumen investasi baru sebagai persiapan tahun depan.
Menurut Bambang, pemerintah sudah mempersiapkan instrumen menghadapi kondisi terburuk. Pemerintah punya program Bond Stabilization Framework (BSF) jika pelemahan rupiah sampai berdampak signifikan kepada obligasi negara. Pemerintah juga menyiapkan dana untuk pembelian kembali (buyback) obligasi.
"Kita lakukan terus pemantauan menit ke menit, dan kita sudah siapkan buyback kalau pasar mengalami tekanan. Kemudian untuk subsidi energi, pada 2015 pemerintah melakukan fix subsidy demi ketahanan fiskal," terangnya.
SUMBER : detik.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar